IMF memperkirakan resesi akibat Covid-19 lebih buruk dibandingkan krisis-krisis ekonomi sebelumnya.


PERUBAHAN besar sedang terjadi di seluruh dunia. Kekayaan dari sebuah dunia di mana moda produksi kapital-finansial mendominasi tampil dalam wujud unggunan surat-surat: kontrak dagang, kontrak kerja, kontrak kerjasama finansial. Seluruh surat-surat itu ditutup dengan sebuah pasal tentang keadaan kahar (force majeure): “apabila terjadi hal-hal yang berada di luar kendali para pihak, maka perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku selama hal-hal itu terjadi.” Seorang pekerja tidak bisa dituntut untuk terus bekerja seturut kontrak apabila, misalnya, gempa bumi menelan habis pabriknya. Perekonomian dunia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan kahar itu: COVID-19. Berbeda dengan keadaan kahar biasanya, kali ini kita menghadapi sebuah keadaan kahar universal, suatu universal state of exception.
Virus korona atau COVID-19 merebak pertama kali di Wuhan, tepatnya Pasar Ikan Huanan, pada 31 Desember 2019. Sejak saat itu hingga saat tulisan ini dibuat, 722.435 orang di seluruh dunia terjangkit dan 33.997 orang meninggal seperti tercatat dalam situs CSSE John Hopkins University.[1] Angka ini memang belum dinyatakan sangat tinggi. Sebagai perbandingan, di Cina angka kematian akibat stroke (180.000 orang per tahun), serangan jantung (150.000), kanker paru-paru (60.000), jauh di atas angka kematian akibat korona (3.308).[2] Pembanding lain adalah benchmark kita untuk segala macam pandemi, yakni Wabah Hitam (Black Plague) yang merebak di Asia Tengah dan menjalar ke Eropa. Wabah yang bermula dari 1338 hingga 1351 ini dikenal dalam sejarah penyakit menular sebagai wabah paling mematikan: diperkirakan 75 – 200 juta orang mati akibatnya atau sekitar 30% populasi di tempat-tempat wabah itu berjangkit.
Adapun demikian, kemudahan transmisi virus korona dan kecepatan mutasinya dalam menghasilkan ratusan strain dalam hitungan tiga bulan (yang mempersulit vaksinasi) telah menghasilkan sebuah disrupsi pada Era Disrupsi ini. Jika kita menjalankan stock opname atas berbagai efek disruptif COVID-19 terhadap perekonomian dunia, kita akan menemukan empat kecenderungan ekonomi yang bisa dibaca gejalanya hari ini: (1) de-industrialisasi, (2) de-finansialisasi, (3) diskoneksi fisik, dan (4) pelokalan global. Keempat kecenderungan ini akan berjalan beriringan dengan suatu tata ekonomi baru dunia di mana sektor swasta akan remuk dan satu-satunya kekuatan ekonomi yang signifikan adalah negara. Dengan begitu, sosialisme akan kembali menjadi pilihan bagi bangsa-bangsa yang hendak selamat secara ekonomi.
Empat Penunggang Kuda Hari Kiamat
Ada empat penunggang kuda hari kiamat. Yang pertama adalah de-industrialisasi. Penjarakan fisik yang muncul sebagai konsekuensi COVID-19 akan menghancurkan seluruh industri manufaktur yang padat karya. Tidak ada lagi orang boleh berkumpul rapat di suatu tempat tertutup. Sementara pekerja kantoran dapat dengan nyaman #kerjadarirumah, tidak demikian halnya dengan pekerja fisik yang harus datang ke lokasi untuk bekerja. Dengan mudah kita dapat membaca sifat ketidakberlanjutan dari situasi ekonomi semacam ini. Barang-barang kebutuhan sehari-hari tetaplah pada hitungan terakhir datang dari kerja fisik yang tidak bisa dilakukan lewat #kerjadarirumah. Kita tidak bisa membayangkan padi-padi tumbuh dan terpanen dengan sendirinya karena para petani #kerjadarirumah. Kita tidak bisa membayangkan mie instan terproduksi, terkemasi dan terantar ke toserba dengan sendirinya karena para buruh #kerjadarirumah. Para pekerja fisik itu akan mengalami proses degenerasi massif ke dalam lumpenproletariat. Dengan demikian, pukulan bagi industri manufaktur cepat atau lambat akan jadi pukulan bagi semua industri.[3]
Pukulan juga akan kena ke industri hiburan non-daring, mulai dari kafe, restoran, bioskop, mall, festival seni-budaya hingga tempat pijit. Seluruh bisnis itu bertumpu pada interaksi fisik yang bertentangan dengan kaidah penjarakan fisik. Bebarengan dengan itu kolaps juga industri agama yang mensyaratkan pertemuan fisik antarmanusia. Semuanya akan berbalih ke hiburan jarak jauh melalui sarana radio, televisi dan internet. Model bisnis dari setiap industri hiburan itu pun dipaksa berubah: produksi rumahan, skala diperkecil, distribusi on demand. Segala hiburan akan menjadi kecil-kecilan.
Yang kedua adalah de-finansialisasi. COVID-19 telah menghasilkan krisis finansial 2020 yang parah. Hingga Maret 2020, tercatat saham dunia rata-rata jatuh hingga 25%. Goldman Sachs memperkirakan PDB Amerika Serikat akan menciut sekitar 24% pada kuartal mendatang.[4] Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, bahkan menyatakan bahwa situasi finansial kita menyerupai keadaan pada masa Depresi Besar (1929-1939).[5] Dalam situasi seperti itu tidak akan ada orang yang berani investasi, membuka usaha baru, sehingga pemotongan suku bunga sekalipun tidak akan membesarkan keberaniannya. Pukulan pada dunia perbankan global ini akan lebih parah lagi apabila orang melakukan penarikan dana besar-besaran untuk berjaga-jaga dalam situasi takmenentu yang berkepanjangan.
Soal apakah kecenderungan ini akan terus berkembang menjadi de-moneterisasi masih merupakan pertanyaan terbuka sampai hari ini. Kita bisa membayangkan kejatuhan nilai mata uang di dunia dan orang-orang berbondong-bondong kembali ke transaksi in natura seperti dalam konteks ekonomi perang. Dalam kondisi seperti itu, butiran pil vitamin C atau kantung gula pasir mungkin akan menjadi sarana pertukaran dan satuan pengukur nilai barang dagangan. Tidak ada lagi institusi finansial, tidak ada lagi uang, semua aktivitas ekonomi dilakukan di alam liar.
Yang ketiga adalah diskoneksi fisik. Bersama dengan penjarakan fisik yang tercipta akibat COVID-19, industri travel, transportasi dan perhotelan pun ikut hancur.[6] Karena setiap sarana transportasi manusia adalah juga sarana transportasi virus dan semua hotel akan dipandang sebagai inkubator virus. Di Indonesia, beberapa hotel mulai menutup usahanya, biro travel mengencangkan ikat pinggang dan maskapai-maskapai sulit bernafas. Apabila kondisi seperti ini berlanjut beberapa bulan lagi, industri-industri itu akan lenyap ditelan bumi. Manusia akan sepenuhnya terdiskoneksi secara fisik dari lingkungan di luar kelurahannya. Provinsi lain akan menjadi negara lain dan negara lain akan menjadi dunia lain, alam semesta lain.
Penunggang kuda hari kiamat keempat adalah pelokalan global. Dengan hancurnya industri manufaktur dan transportasi, akan terjadi pemingitan ekonomi. Setiap aktivitas ekonomi akan ditangani secara lokal dalam lingkup teritorial yang sangat kecil. Perekonomian akan menjadi perekonomian warga, tersekat-sekat dalam kelurahan atau lingkup teritorial semacamnya. Setiap negara akan dengan susah-payah mengelola perekonomiannya masing-masing. Perekonomian negara akan hadir di jalan raya, mengatur distribusi sumber daya, sebelum akhirnya lenyap ditelan gang-gang kecil tempat terselenggaranya ekonomi Pak Lurah. Tidak ada lagi perusahaan multinasional dan trans-nasional. Tidak ada lagi “ekonomi dunia”. Dunia akan kembali menjadi sebuah kemungkinan teoretis.
Kiamat Kapitalisme
Sampai di sini kita bisa saja mendapat kesan bahwa perekonomian dunia berjalan menuju titik nadirnya, menuju kiamat besarnya. Akan tetapi, di sini kita perlu memilah ekonomi dari kapitalisme. Yang akan tumbang bukanlah segala macam sistem ekonomi, melainkan satu varian saja (yang kebetulan paling dominan dewasa ini), yakni kapitalisme. Mengapa keempat kondisi di muka akan menghasilkan suatu kiamat bagi kapitalisme?
Pasca-peristiwa terorisme 9/11 yang menimpa Amerika Serikat, geografer David Harvey menarik sebuah pelajaran penting tentang perekonomian kapitalis. Dalam bukunya, A Companion to Marx’s Capital yang terbit 2010 ia mencatat:
“Modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. Coba periksa apa yang terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 di Kota New York: segala sesuatunya mandek. Pesawat-pesawat berhenti terbang, jembatan dan jalanan ditutup. Setelah sekitar tiga hari, orang-orang sadar bahwa kapitalisme akan runtuh jika situasi tidak bergerak lagi. Maka tiba-tiba, Walikota Giuliani dan Presiden Bush memohon kepada publik untuk mengeluarkan kartu kredit mereka dan pergi belanja, kembali menonton Broadway, mendatangi lagi restoran-restoran. Bush bahkan muncul di sebuah iklan televisi dari industri penerbangan dan menyemangati orang-orang Amerika untuk terbang lagi. Tidak ada kapitalisme tanpa gerak.”[7]
Tiga hari—hanya cukup tiga hari kemandekan untuk membuat kapitalisme panik menyelamatkan diri. Sekarang bayangkan bila hal itu terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, di seluruh dunia pada saat yang bersamaan.
Kita mesti membayangkan kapitalisme sebagai semacam korona. Kalau ia mandek (mati) di New York selama tiga hari, maka ia mengandalkan aktivitasnya di tempat-tempat lain sebagai sandaran untuk kembali menginvasi New York setelah intervensi inangnya (Bush dan kawan-kawan). Akan tetapi, bagaimana jika saat itu di seluruh tempat di dunia juga mengalami kemandekan yang sama? Bagaimana jika kemandekan itu memanjang hingga tiga bulan atau bahkan lebih? Modal yang diam selama berbulan-bulan akan mulai meranggas, kehilangan lapisan pelindungnya, membuat inti genetiknya terpapar pada cuaca dan punah kena sengatan terik matahari. Tidak ada lagi RNA kapitalisme yang dapat mereplikasi-diri dan mengakumulasi-diri.
Merepihnya modal akibat de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik dan pelokalan global inilah yang barangkali akan kita saksikan di bulan-bulan mendatang. Sementara kapitalisme dapat mengubah surat-surat menjadi barang berharga, korona dapat mengubah surat-surat berharga menjadi kertas. Di hadapan korona, pemilik modal tidak lebih dari pemilik tumpukan kertas. Seluruh aset fisiknya (tanah, pabrik dan sarana produksi lainnya) kembali menjadi potensi murni: potensi yang tak bisa diaktualkan menjadi kekayaan selama korona memastikan penjarakan fisik antarorang. Akhirnya, apa yang ia punya secara nyata adalah sertifikat-sertifikat, dengan kata lain, kertas-kertas.
Inilah revolusi diam yang sedang terjadi saat ini, sebuah revolusi yang terjadi di tiap helaan nafas kita. Di masa korona ini, perbedaan antara takut dan malas menjadi begitu tipis: takut kena korona dan malas bekerja bisa jadi merupakan dua sisi dari koin yang sama. Dengan begitu, #kerjadarirumah lama kelamaan akan beringsut jadi #tidurtidurandirumah. Dengan tidur di rumah sendiri secara berjamaah selama berbulan-bulan itulah kapitalisme memasuki masa sekaratnya. Selama ini anak anarkis selalu bermimpi tentang Pemogokan Umum. Mereka tidak menyadari bahwa Pemogokan Umum itu sedang perlahan terjadi. Tidak ada aksi massa di jalanan, tidak ada lemparan molotov dan topeng-topeng Guy Fawkes, tidak ada manifesta-manifesto. Semua terjadi karena orang perlahan bosan dan mengantuk. Selama ini anak Kiri selalu berpidato tentang pentingnya mobilisasi massa dan menjaga-diri dari demoralisasi yang menakutkan itu. Tidak ada yang mengira bahwa revolusi hari ini bisa terjadi justru karena dismobilisasi massa, justru karena demoralisasi fundamental—suatu Disorientasi Umum yang panjang dan lama.
Negara-Negara Akan Menjadi Sosialis Karena Terpaksa
COVID-19 sungguh merupakan game changer. Seluruh asumsi ekonomi kita sebelum COVID-19 harus kita periksa lagi pasca-kedatangannya. Banyak dari antaranya yang sudah tidak berlaku sekarang. Pasar bebas terbukti jadi alasan untuk menimbun bahan-bahan kebutuhan pokok. Kebebasan bergerak dan berkumpul terbukti menjadi sarana penyebarluasan pandemi. Kebebasan berpendapat semau-maunya terbukti membuat usaha penanganan COVID-19 menjadi seperti mencari jarum kebenaran di tumpukan jerami hoax.
Di atas segala-galanya, COVID-19 mengajari kita bagaimana cara menjadi sosialis. Di banyak negara hari kita kita jumpai usaha untuk menasionalisasi sektor-sektor yang terkait langsung dalam perang melawan korona. Spanyol dan Irlandia menasionalisasi semua rumah sakit swasta.[8] Inggris menasionalisasi industri perkereta-apian dan mempertimbangkan untuk menasionalisasi juga seluruh sektor trasnportasi.[9] Amerika Serikat hendak menasionalisasi Boeing dan memulai pembicaraan tentang nasionalisasi seluruh lini produksi farmasi.[10] Prancis hendak menasionalisasi perusahaan-perusahaan strategis yang terdampak.[11] Di mana-mana di dunia saat ini kita menjumpai trend nasionalisasi aset swasta dalam skala yang tak pernah kita bayangkan sejak wabah neoliberalisme Reagan dan Tatcher di dekade 1980-an.
Situasi ini dapat meluas, tentu saja, ke sektor-sektor yang terdampak oleh pandemi korona. Ketika sektor swasta semakin ringkih akibat keempat penunggang kuda hari kiamat itu, maka mereka tak punya daya tawar apa-apa di hadapan negara. Negara menjadi satu-satunya institusi perekonomian yang masih punya harga. Semua sektor swasta terdampak akan berbondong-bondong memohon bail out dari negara dan negara akan menjawabnya dengan nasionalisasi sebagian besar sektor industri manufaktur, pertanian, perkebunan, transportasi, kesehatan dan hiburan. Alhasil, tergenapilah amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berkat korona, kita akan bersungguh-sungguh mewujudkan sosialisme Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945. Di negara-negara lain pun kurang-lebih akan sama. Mereka yang pernah mengalami sosialisme akan kembali menimba dari pengalaman. Mereka yang belum pernah mengalami sosialisme akan belajar.
Gerak ke arah sosialisme bukan mimpi di siang bolong. Dalam situasi korona seperti ini, kita menjumpai ramainya kembali pembicaraan publik dunia tentang “Pendapatan Asasi Universal” (Universal Basic Income). Pendapatan Asasi Universal, atau singkat saja PAU, merupakan sejumlah pendapatan yang diterima oleh warga negara, sesuai haknya sebagai warga negara, dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok agar bisa hidup dan berkecukupan. PAU bersifat tanpa syarat (artinya setiap warga negara berhak mendapatnya), sama jumlahnya untuk setiap warga negara dan dibayarkan untuk setiap individu warga negara. Kemungkinan bagi PAU mulai ramai diperdebatkan di dunia sejak 2010, khususnya dari kalangan ekonom dan ilmuwan sosial Kiri seperti Erik Olin Wright dan Philippe van Parijs. Pasca-merebaknya COVID-19, dengan begitu banyak orang kehilangan lapangan pekerjaan, pembicaraan tentang perlunya menegakkan sistem PAU menjadi semakin mendesak.[12]
Jika sebelumnya PAU tampak seperti mimpi di siang bolong, hari ini hal itu menjadi sebuah kemungkinan yang dekat. Selama ini orang kebingungan bagaimana negara bisa membiayai sistem PAU. Sekarang, dengan (akan) hancurnya sektor swasta dan nasionalisasi besar-besaran atas seluruh sarana produksi strategis, kebingungan penerapan PAU itu terjawab. Kalau semua sarana produksi penting dimiliki oleh negara, maka penggunaan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” itu diwujudkan lewat PAU. Hal ini terlepas dari apakah pendapatan yang dimaksud dalam PAU itu berbentuk uang atau in natura. Kalau berbentuk uang, maka negara perlu menciptakan mekanisme sirkulasi yang mensimulasikan keberadaan pasar (seperti pengalaman sosialisme di Eropa Timur yang diteorikan Oskar Lange). Kalau berbentuk in natura, maka negara perlu menciptakan mekanisme sentralisasi dan distribusi seluruh barang dagangan.
Apabila dulu kendala sosialisme seperti ini adalah kekuatan komputasional yang terbatas, kini kita memiliki ribuan kali kekuatan komputasional dari era itu berkat perkembangan algoritma digital dan dataraya (big data). Dulu, upaya semacam itu dianggap takmungkin diwujudkan karena mensyaratkan suatu badan perencana sentral yang mengelola seluruh informasi pasar yang tak mungkin sanggup dipilah oleh manusia. Sekarang, di era dataraya, sistem pakar dan pembelajaran mesin , segala kendala itu menjadi perkara teknis yang remeh. Yang kurang selama ini hanyalah kehendak politik (political will) untuk mewujudkannya. Dengan adanya COVID-19, kehendak politik itu tidak bisa tidak ada—kalau umat manusia mau selamat.(BK)