Motor yang saya tumpangi meninggalkan Haurgeulis, sebuah kecamatan di Indramayu, membelah jalan Buah Dua menuju Conggeang, Kabupaten Sumedang. Jalan yang saya lalui berupa jalan coran adukan semen. Pemandangan di kanan kiri didominasi hutan jati yang hangus akibat kebakaran. Setelah 2 jam melewati jalanan berkelok-kelok disertai tanah yang amblas, motor saya pun memasuki jalan aspal di perkampungan Conggeang, Kecamatan Narimbang, Sumedang Utara. Dari kejauhan, puncak gunung tertinggi di Sumedang itu mulai menampakan diri.


Puncak Tampomas

Bersama Azhar Bayu dan Abdul Basith, rekan sesama pendaki gunung asal Haurgeulis, saya berkesempatan mendaki gunung tertinggi di Sumedang, gunung Tampomas (1.684 mdpl). Gunung ini ternyata memberikan sensasi hiking yang menantang. Keindahan bentang alam dan nuansa mistisnya menjadi daya tarik yang menggelitik hati untuk terus menanjak hingga ke atas puncak.

Ada beberapa akses untuk menuju pintu masuk gunung Tampomas, yakni jalur yang biasa dilewati para pendaki, yakni jalur Cibeureum yang berada di Cimalaka, dan Pos 1 Curug Ciputrawangi yang berada di kampung Conggeang, Kecamatan Narimbang. Karena jalur pendakian kami dimulai dari dari arah utara Sumedang, kami pun masuk melalui Pos 1 Curug Ciputrawangi.


Gunung Tampomas via Buahdua, Narimbang

Jam 18.00 ketika adzan Maghrib berkumandang, kami tiba di kampung Narimbang. Rencananya kami akan potong jalur melewati hutan desa dan tidak melalui jalur pintu utama di Pos 1 Curug Ciputrawangi. Pada seorang warga yang kebetulan kami temui, saya bertanya arah jalan menuju gunung Tampomas. Karena dikira kami akan berziarah ke gunung Tampomas di malam hari, kami disuruh menemui Bapak Onos, juru kunci gunung Tampomas terlebih dahulu. Tanpa berpikir panjang, kami pun segera mencari rumah Bapak Onos. Setelah meminta izin pendakian sekaligus menitipkan motor di rumah Bapak Onos, kami pun mulai packing ulang sekaligus mengambil air karena di sepanjang jalur pendakian tidak akan menemukan sumber air.

Tepat jam 19.00 kami pun mulai berjalan menembus areal persawahan dan memasuki hutan sekunder berupa hutan pinus, kebun aren dan kebun kopi. Pada mulanya trek yang kami lewati berupa jalan landai dan datar. Setelah setengah jam perjalanan, trek yang kami lewati kemudian berganti menjadi jalur yang menanjak. Di tengah perjalanan, beberapa kali kami harus berputar-putar mencari jalan karena banyak terdapat jalan yang bercabang.


Jalur yang kami lewati terus menanjak tanpa ampun. Cahaya lampu yang berasal dari head lamp kami menyinari jalan setapak menembus gelapnya hutan. Lolongan anjing kampung menambah suasana malam semakin terasa sunyi. Di hadapan kami tidak ada apa-apa selain gelapnya malam. Beberapa kali kami harus berhenti untuk istirahat memulihkan tenaga yang terkuras habis di tanjakan ini. Angin gunung yang menggigilkan itu membuat saya kepayahan. Tubuh yang basah akibat keringat dan ditambah terpaan angin malam yang menggigilkan membuat perut terasa mual. Kepala terasa pusing karena berebut oksigen dengan tumbuhan. Saat itulah kali pertama saya mendaki gunung mengalami sleep walking, tertidur sambil berjalan karena saking mengantuk dan lelahnya berjalan. Barangkali inilah gejala awal terserang hipotermia, pikir saya.

Pukul 24.30 kami pun tiba di Pos 2 Seleh. Di pos ini terdapat sebuah warung yang oleh para pendaki lebih dikenal sebagai Warung Abah. Seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam warung yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Setelah meminta izin untuk menumpang istirahat di atas bale-bale warung miliknya, kami pun beristirahat. Sementara teman saya asyik berbincang-bincang dengan si Abah, saya memilih untuk tidur selonjoran untuk sekadar meluruskan punggung yang sedari tadi terasa panas dan kaku. Melihat saya yang tampak kelelahan, si Abah menawari saya untuk bermalam di dalam warungnya dan melanjutkan pendakian esok hari. Tanpa pikir panjang, saya pun menyambut tawaran si Abah dengan penuh rasa syukur. Dan saya pun mulai jatuh tertidur…


Memulai pendakian

Jam 05.00 pagi, keindahan mulai tampak pada ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Matahari pagi yang menyembul di ufuk timur menyibakkan kabut tebal yang menyelimuti separuh gunung Tampomas. Dari Pos 2 Seleh terlihat hamparan perkebunan warga, hutan jati dan penambangan pasir Cibeureum. Usai sarapan, tepat jam 07.00 pagi kami pun melanjutkan pendakian.

Pendakian awal dimulai dengan trek yang menanjak normal dengan vegetasi yang didominasi hutan pinus. Setelah satu jam berjalan vegetasi mulai berganti menjadi hutan dengan pepohonan kayu-kayu besar berlumut. Setelah melewati tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga, sampailah kami di Pos 3 Batu Kukus. Pos ini berupa gundukan batu andesit besar yang menyerupai ceruk goa. Di pos ini kami beristirahat dan memasak makanan.


Pos 3 Batu Kukus

Usai menikmati sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami disuguhi trek yang landai dan datar cukup panjang. Tak ada jurang curam yang menganga di samping kanan kiri kami kecuali lebatnya hutan yang meneduhkan. Aneka kicauan burung yang ditingkahi beberapa ekor tupai yang berlompatan dari dahan ke dahan pepohonan mengiringi perjalanan. Sesekali suara primata sejenis lutung menjerit-jerit dari kejauhan.

Sekitar satu jam berjalan dari Pos 3 Batu Kukus sampailah kami di percabangan Pos 4 Awi Kereteg yang ditandai dengan sebilah papan yang dilengkapi penunjuk arah menuju puncak gunung Tampomas. Dari pos inilah kami kembali disuguhi trek yang cukup beringas. Medan menanjak berbatu dengan kontur jalur yang sempit ini mengharuskan saya untuk lebih awas dan waspada pada jalan yang kami pijak. Tangan kami pun cekatan meraih akar-akar pohon sebagai pegangan. Lengah sedikit saja kaki akan tergelincir dan memerosotkan tubuh ke bawah jurang.


Tanjakan inilah yang paling curam dengan trek panjang tanpa henti. Belum juga sempat menghela nafas, kami harus kembali berjalan melewati dua pos lagi, Pos 5 Sanghyang Taraje dan Pos 6 Sanghyang Tikoro, dengan trek yang semakin menyempit dan terjal dengan kemiringan hampir 90 derajat. Di jalur ini kami seolah diberi dua pilihan, mau tetap melanjutkan perjalanan atau terpaksa berhenti dan kembali turun gunung. Sebab di depan kami, terus menanjak hingga puncak atau kembali turun sama-sama memiliki kesulitan dan resiko yang tinggi.

Setelah satu jam melewati jalur ‘simalakama’ gunung Tampomas yang bikin lemas, tibalah kami di sebuah hamparan luas yang dipenuhi batu-batu andesit berumur purba. Inilah puncak gunung Tampomas yang ditandai dengan sebuah tiang trianggulasi. Tinggi gunung Tampomas hanya 1.684 mdpl. Kendati demikian gunung ini sungguh menawarkan sensasi hiking yang benar-benar menguji fisik dan mental siapa saja yang ingin menjajal terjalnya gunung Tampomas.


Setiba di puncak mata saya tertumbuk pada pemandangan kota Sumedang yang menghampar di bawah sana. Saya memperhatikan sekeliling, di sekitar puncak ada sebuah lubang menganga yang gelap saking dalamnya. Lubang itu disinyalir sebagai lobang kawah Tampomas yang sudah tidak aktif. Seutas tali police line membentang di mulut lubang sebagai tanda area berbahaya. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam berada di bawah panggangan matahari yang saat itu tegak lurus dengan langit, kami pun memutuskan untuk turun gunung.

Ya, Tampomas memang waasWaas oleh tanjakan-tanjakannya yang menantang, waas dengan batu-batu andesitnya yang menjulang, waas dengan udara dan pepohonannya yang menyejukan.(BK)