SISWA MENULIS: Asal Usul Cadas Pangeran
BERITA JABAR
SUMEDANG. PATUNG dua sosok lelaki berdiri di Jalan Raya Ciherang, memisah Cadas Pangeran Atas dan Bawah, Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat menyimpan cerita heroik keberanian seorang bupati menentang kebijakan Gubernur Jendral.
Patung tersebut menapilkan sosok lelaki mengenakan topi tricorn berbusana militer lengkap dengan jubah dan pedang nampak menyodorkan tangan kanan, dan disambut jabatan tangan kiri lelaki lainnya berikat kepala Sunda, selagi tangan kanan memegang keris.
Patung Pangeran Kornel, begitulah masyarakat membubuhkan asma. Bupati Sumedang, Sutardja (1983-1988), menginisiasi pembuatan patung tersebut untuk mengenang keberanian Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau Pangeran Kornel menentang perbudakan HW Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811), saat pembangunan Jalan Raya Pos, terutama di daerah Cadas Pangeran.
Pangeran Kusumadinata IX, menurut Raden Moch Achmad Wiriaatmadja pada Cadas Pangeran, kala itu tidak tega melihat penderitaan rakyat saat pembangunan jalan raya penghubung antara Parakamuncang dan Sumedang. Pengerjaannya sangat sulit karena kondisi medan terjal ditambah kontur tanah sangat keras. Banyak pekerja tewas kala bekerja membelah jalan.
Saat Gubernur Jendral HW Daendels datang melakukan inspeksi di Ciherang. Bupati Kusumadinata menyambut. “Tuan Mareskalek (Daendels) mengulurkan tangan hendak berjabat salam, maka Dalem Sumedang (Kusumadinata IX) menyambut dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang hulu keris yang telah diputar di pinggang dari belakang ke muka,” tulis R Memed Sastrahadiprawira dalam Pangeran Kornel.
Daendels kemudian bertanya mengapa jabat tangannya disambut tangan kiri. Kusumudanita IX kemudian menceritakan beban kerja rakyat membangun jalan di Cadas Pangeran. Sang Mareskalek pun menerima dan menyerahkan pengerjaan kepada pasukan zeni.
Benarkah persitiwa pertemuan dan jabat tangan Daendels-Kusumadinata IX pernah terjadi?
Prof Djoko Marihandono, pengajar Sastra Perancis FIB UI, menelusur data atau sumber historis berkait peristiwa pertemuan Daendles bersama Kusumadinata IX di Ciherang.
Dia berkutat cukup lama dengan sumber berkait Daendels koleksi Arsip Nasional RI, dan arsip dari Centre d`accueil et de recherche des archieves nationales (CARAN) di Rue des Ecoles, Paris, Perancis, untuk penggarapan disertasi berjudul “Setralisme Kekuasaan Pemerintah Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”.
Di salah satu bundel arsip Priangan, berisi korespondensi pengusaha bumiputera kepada pejabat Belanda, khususnya bertugas menjadi pengawas proyek Jalan Raya Pos, pada pertengahan tahun 1808, menurut Djoko Marihandono, justru terlihat perbedaan sikap Kusumadinata terhadap pembangunan Jalan Raya Pos.
“Sebaliknya Bupati Sumedang yang disebut-sebut dalam arsip tidak menyatakan keberatan sama sekali, bahkan menawarkan bantuannya lebih lanjut kepada penguasa kolonial jika masih diperlukan,” tulis Marihandono pada “Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan”.
Menurut tradisi administrasi kolonial, lanjut Marihandono, setiap persitiwa termasuk kedatangan seorang Gubernur Jendral pasti akan meninggalkan catatan dan laporan sangat panjang, mulai laporan keberangkatannya, daerah mana saja kunjungannya, siapa saja tamunya atau orang dikunjungi, pasti akan tercatat lengkap dan tersimpan sebagai arsip. Anehnya, pertemuan Dandels-Kusumadinata tak terdokumentasi.
“Persitiwa pertemuan Gubernur Jendral Daendels dan Pangeran Kusumadinata tidak tertulis dalam arsip mana pun,” tegas Marihandono.
Selain arsip, seturut Marihandono, beberapa tulisan leksikografi tentang masa pemerintahan Daendels pun tak pernah mencuplik peristiwa tersebut. Sementara, sumber utama tentang pertemuan itu hanya ada pada prasasti di bawah patung Pangeran Kornel.
Pada prasati tertulis, “Onder Leiding van Raden Demang Mangkoepradja en Onder Toezicht van Pangeran Koesoemadinata Aangelegt 1811 Doorgekapt 26 November tot Maart 1812, (Di bawah Pimpinan Raden Demang Mangkoepradja dan di bawah Penelitian Pangeran Koesoemadinata, dibuat pada tahun 1811, dibobok dari tanggal 26 Nopember sampai 12 Maret 1812)”.
Marihandono meragukan keterkaitan isi prasati dan peristiwa tersebut.
Daendels, menurut keputusan Kaisar Napoleon Bonaparte, mengakhiri masa jabatan pada 16 Mei 1811. Dia berlayar dari pelabuhan Surabaya menggunakan kapal menuju Eropa pada 29 Juni 1811. Pada bulan September 1811, Sang Mareskalek diterima Napoleon di Paris. “Dengan demikian periode yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut (tanggal 26 November 1811 sampai 12 Maret 1812) bukan masa pemerintah Daendels, melainkan Raffles,” ungkap Marihandono.
Tapi, pada masa Raffles pun tak pernah tercatat kunjungannya ke daerah Priangan. Peristiwa pertemuan dan jabat tangan Daendels-Kusumadinata IX justru laris manis di berbagai cerita maupun tutur lisan masyarakat.
Munculnya mitos dan legenda Daendels-Kusumadinata, menurut Marihandono, menunjukan polarisasi politik semasa dan setelah pemerintahan Daendels, tak hanya terjadi sebatas pada kalangan Eropa, tetapi juga melibatkan kaum bumiputera.
“Munculnya legenda di atas menunjukan beberapa kalangan pejabat Eropa berusaha menciptakan citra tentang Daendels di mata para elit penguasa dan masyarakat bumiputera,” tulis Marihandono. “Hal ini sengaja dimunculkan dan digunakan oleh orang-orang Eropa anti-Daendels untuk menyatakan mega proyek Daendels tidak berhasil mengentaskan kondisi kehidupan rakyat”(BK)