Kurs rupiah terus melemah, berikut sektor yang mendapat dampak positif dan negatif

Lagi, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah di pasar spot pada perdagangan Jumat (20/3) ditutup melemah 0,30% ke Rp 15.960 per dolar AS.

Bahkan, pada pukul 15.22 WIB, kurs rupiah sempat menyentuh Rp 16.225 per dolar AS. Sementara itu, jika dihitung sejak awal 2020, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah melemah 15,10%.
Alhasil, kondisi ini mempengaruhi bisnis para emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Kepala Riset MNC Sekuritas Thendra Crisnanda mengatakan, pelemahan dan volatilitas tinggi yang terjadi pada kurs rupiah ke dolar AS memberi dampak negatif pada hampir semua sektor emiten.
Dampak negatif terbesar menimpa para emiten berbasis impor, seperti industri farmasi. Sebagaimana diketahui, bahan baku pembuatan obat-obatan mayoritas masih didatangkan dari luar negeri.
Hal ini diamini oleh Direktur Utama PT Phapros Tbk (PEHA) Barokah Sri Utami (Emmy). "Karena sebesar 95% bahan baku farmasi impor, penguatan nilai tukar dolar AS pasti akan berpengaruh pada margin perusahaan," kata Emmy kepada Kontan.co.id, Jumat (20/3).
Anak usaha PT Kimia Farma Tbk (KAEF) ini memperkirakan, nilai tukar rupiah yang berada di kisaran Rp 16.000 per dolar AS dapat menggerus margin PEHA sebesar 8%.
Thendra menambahkan, emiten yang juga merasakan dampak negatif pelemahan kurs rupiah ini adalah perusahaan yang memiliki utang besar dalam dolar AS. "Mereka dirugikan atas kondisi ini. Apalagi jika pemasukannya justru dalam bentuk rupiah," ucap dia
Bahkan, menurut Thendra, emiten-emiten yang biasanya diuntungkan dengan penguatan dolar AS, seperti emiten berorientasi ekspor dan sektor pariwisata juga berpotensi terkena dampak negatif. Pasalnya, merebaknya virus corona di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya dapat menurunkan permintaan barang maupun jasa dari para perusahaan ini.
Meskipun begitu, Sekretaris Perusahaan PT Pan Brothers Tbk (PBRX) Iswar Deni menyampaikan, sejauh ini, pihaknya belum merasakan dampak negatif dari penguatan kurs dolar AS. "Masih positif karena penjualan kami 97% ekspor jadi dapatnya dalam bentuk dolar AS. Dari segi beban juga tidak ada kenaikan," kata dia.
Di sisi lain, Kepala Riset Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy melihat, masih ada emiten-emiten yang mendapat pengaruh positif dari penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah, salah satunya adalah emiten pertambangan batubara. Pasalnya, harga jual batubara masih menggunakan acuan mata uang dolar AS. "Apalagi, penurunan harga minyak dunia juga berpotensi mengurangi beban bahan bakar para emiten ini," tutur Robertus.
Oleh karena itu, menurut Robertus, para investor dapat mulai mengoleksi saham-saham emiten batubara yang tergolong blue chips, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT United Tractors Tbk (UNTR), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG). Selain karena harga sahamnya sudah banyak terdiskon, prospek saham-saham tersebut ia nilai masih menarik.
Pasalnya, Robertus melihat adanya sentimen positif berupa kenaikan permintaan dari China. Robertus memasang target harga PTBA Rp 2.700 per saham, UNTR Rp 22.000, dan ITMG Rp 11.000 per saham.
BERITA JABAR (234)BK