BERITA JABAR (234) BK
 Wabah ‘extra ordinary’ Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) akhirnya membuka keran kebijakan populis, berupa bantuan sosial struktural sebagai stimulus fiskal.
Presiden Joko Widodo menetapkan pandemi virus corona sebagai bencana nasional. Penetapan ini dilakukan dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang ditandatangani pada Senin (13/4) pekan lalu.
Pemerintah mengambil langkah taktis lewat instrumen fiskal mencegah bencana corona. Presiden Jokowi begitu sigap mengucurkan strategi anggaran pertama senilai Rp 158,2 triliun untuk dua paket stimulus kebijakan ekonomi.
Kemudian strategi anggaran kedua Rp 405,1 triliun sebagai paket yang terpisah dengan kebijakan stimulus yang dikeluarkan sebelumnya, sehingga total APBN sebesar Rp563,3 triliun untuk memerangi pandemik virus corona. Sebagai payung hukumnya tanggal 31 Maret 2020 terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, ini akan berlaku untuk tiga tahun, yakni pada 2020, 2021 dan 2022.
Menurut Direktur Eksekutif Organisasi Bantuan Hukum (OBH) PRO EKLESIA Yuddi Robot SH, setidaknya ada dua pihak ‘juru kunci’ penindakan dan pengawasan dana bencana corona guna berhasilnya Rp 563, 3 triliun ini termasuk dana penanganan corona di Sulawesi Utara (Sulut) yakni Rp 404,4 miliar. Dana tersebut harus mendarat mulus bagi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. “Dua pihak tersebut yaitu pihak internal antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Kepolisian, DPR, Inspektorat, dan Pihak Eksternal antara lain Advokat, Media/Pers, LSM, Kelompok Masyarakat,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pihak internal terbagi atas KPK, Kejaksaan, Kepolisian, BPK, BPKP, DPR, dan Inspektorat. Mereka merupakan sub ordinasi kekuatan negara hukum dan good governance. Idealnya pemberantasan dan pencegahan korupsi dana bencana berada di pundak mereka. Strukturnya jelas sampai ke tingkat daerah seperti Kejari, Polsek, Inspektorat provinsi/kabupaten/kota, BPKP Provinsi, DPRD provinsi/kabupaten/kota. “Selain itu juga pembiayaannya sangat terukur, sehingga cara bergerak atas data yang ada dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial berupa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Kementerian Desa (Dana Desa), Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Lembaga Negara, BUMN, atau data dari Pemerintah Daerah, akan tepat sasaran dan lebih efisien. Data penerima bantuan harus benar-benar diverifikasi dan divalidasi ‘up to date’, jangan asal copy paste,” ucapnya.
Kemudian, pihak eksternal terbagi atas Advokat, Media/Pers, LSM, dan Kelompok Masyarakat (Pokmas). “Dukungan dari  pihak eksternal ini juga dapat mencegah formulasi sepihak atas pelaksanaan penindakan penyelewengan dana bencana corona. Katakanlah sebagai ‘second opinion’ mewakili masyarakat bawah ketika bantuan tidak sejalan dan tidak searah dengan harapan pemerintah, atau ditemukan arogansi sepihak dari penguasa yang diskriminatif saat verifikasi dan distribusi bantuan,” terangnya.
Contohnya, pihak eksternal menerima keluhan, pengaduan, atau bantahan dari warga yang tidak mendapat dana stimulan bulanan atau dana bantuan sosial seperti Bantuan Sosial Tunai, Paket Sembako, dan lain-lain karena beda partai politik, beda agama, atau faktor kedekatan dengan penguasa. “Selain itu, pihak eksternal menerima bandingan data yang inkonsisten dan tidak transparan pengelolaan serta pertanggungjawabannya setelah dilakukan umpan balik data. Maka eksistensi pihak eksternal ini harus terus diberdayakan, diedukasi dan ditransformasi agar kuat dan kapabel serta mendapat perhatian serius dari pihak internal,” ujarnya.
Ditambahkan Sekretaris Eksekutif Rolly Toreh SH, seperti corona yang berstatus gawat darurat ’emergency’ maka transparansi, pengawasan dan penindakan anti korupsi dana bencana Covid-19 harus menyebar secara luas, multi sektor, sistematis dan massif.
Katanya, pengawasan masyarakat serta transparansi kegiatan, jangan lemah karena situasi bencana. Hal tersebut merupakan langkah mitigasi anti korupsi dan anti diskriminasi, agar kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat tetap eksis ditengah pandemi corona.
Dengan cara itu menurut Toreh, masyarakat mendapatkan jaring informasi yang kredibel, tidak sepihak, juga tahu dananya mengalir kemana, pada siapa, dan bagaimana pengelolaannya, serta semampunya dapat melaporkan kepada pihak internal jika ditengarai ada ancaman kecurangan.
Ia mengungkapkan, ancaman hukuman bagi koruptor dana bencana sudah sangat menjerakan. Hukuman penjara dan denda sampai 20 tahun, atau denda Rp 12 M berdasarkan Pasal 78 UU No 4 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, jikalau terbukti melakukan kejahatan korupsi. Dan, Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahkan mengatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bencana.
Sebab setidaknya menurut data ICW, selama sepuluh tahun terakhir terdapat sedikitnya 87 kasus korupsi dana bencana yang telah ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK. “Maka dalam perwujudan transparansi, pengawasan dan penindakan anti korupsi dana bencana, OBH Pro Eklesia siap di garda depan, berjejaring dan berperan penting melakukan monitoring sampai di tingkat kabupaten/kota, dengan membentuk Gugus TAKTIS (Tangkal Korupsi-Tangkal Diskriminasi. Mari bergotong royong mengawasi agar bantuan dapat dinikmati secara adil dan merata,” tukasnya.
BERITA JABAR(234)BK